Kamis, 07 November 2019

"Dia adalah Dio" sebuah kisah dari Kelas Inspirasi Kendari

"Dia adalah Dio" sebuah kisah dari Kelas Inspirasi Kendari

Zulaeni Esita
Dosen Psikologi, Universitas Muhammadiyah Kendari 


"Dia adalah Dio", kisah yang saya temui ketika menjadi salah satu inspirator di Kelas Inspirasi Kendari di awal tahun 2019 kemarin. Kisah ini kemudian ditulis dalam sebuah buku Kelas Inspirasi Kendari "CERITA DARI PESISIR": Kisah Sukarelawan Kelas Inspirasi Kendari di Pesisir Sulawesi Tenggara. Buku ini diterbitkan oleh Sekarlangit tahun 2019. Dalam buku yang berhalaman sebanyak 359 halaman tersebut dimuat berbagai kisah para sukarelawan di Kelas Inspirasi Kendari. Ada sekitar 40 orang sukarelawan yang menuliskan kisahnya dalam buku tersebut. Berikut ini hanyalah sepenggal kisah yang saya tuliskan yang termuat dalam buku CERITA DARI PESISIR. 


........
       Kami beristirahat sejenak di ruang guru bersama teman-teman tim 03 lainnya sambil berbagi cerita pengalaman masing-masing ketika mengajar dalam kelas tadi. Mulai muncul cerita-cerita lucu, menyenangkan, dan susahnya. Beberapa teman yang sudah masuk ke kelas dua menceritakan pengalaman yang sama yaitu mereka menghadapi satu anak yang ‘nakal’, anak ini sering sekali memukuli temannya ketika ia merasa terganggu. Sehingga di kelasnya, sering ada anak yang menangis karena ulahnya. Oooo oooo setelah istirahat ini, giliran saya yang menghadapi anak-anak kelas dua tersebut. Dan benar saja, seperti yang diceritakan oleh teman-teman inspirator sebelumnya, di kelas dua ini anak-anaknya lebih sulit diatur, sebutlah kelasnya kacau. Ketika saya mengajar, anak-anak masih sibuk bermain dalam kelas padahal jam istirahat dan bermain telah usai, di sisi lain nampak ada anak yang tidur-tiduran di kursinya, dan tentunya ada anak yang berkelahi lagi seperti sebelumnya. Ya, dia adalah anak yang dibicarakan tadi di jam istirahat. Anak yang diceritakan sebagai anak ‘nakal’ di kelasnya sebutlah namanya sebagai Dio (nama samaran). 
       Saat saya masuk, Dio baru saja memukuli temannya dan temannya kini menangis di mejanya. Ketika masuk kelas, saya langsung di beritahu oleh gurunya bahwa Dio ini adalah anak nakal. Teman-temannya juga langsung menyerukan bahwa Dio adalah anak yang nakal. Yang membuat saya kaget adalah Dio sendiri sambil tertawa memperkenalkan diri kepada saya bahwa dia adalah anak nakal. Kondisi ini membuat saya sedih karena cap yang ada pada anak ini. Bagaimana tidak, anak usia 7 tahun itu mempresentasikan dirinya kepada saya sebagai anak nakal, “nama saya Dio, Bu. Iya, saya anak nakal, Bu”. 
       Dalam Psikologi disebutkan, bahwa manusia biasa melakukan self-presentation (presentasi diri) ketika bertemu dengan orang lain yang notabene adalah orang yang baru dijumpainya. Tujuannya adalah agar interaksi yang akan tercipta nanti sesuai dengan yang kita inginkan. Dari presentasi diri itu juga kita mendeskripsikan siapa diri kita. Kita mengetahui diri kita dari pengetahuan kita akan diri kita, dan hal ini menyumbang banyak dalam pembentukan konsep diri kita sebagai seseorang.
       Yang menarik dari Dio adalah umumnya orang-orang akan mempresentasikan dirinya sebagai seseorang yang positif, seperti anak baik, penurut, ramah, pintar, dan sebagainya. Namun, Dio dengan lantang dan bangga memperkenalkan dirinya dengan kesan yang negatif. Dan mungkin karena background pendidikan saya adalah psikologi sehingga hal seperti ini menarik perhatian saya lebih dalam. Dan ketika Dio menjabat tangan saya dan memperkenalkan dirinya, saya langsung terus menggenggam tangannya, sesekali ia ingin menarik melepasnya namun saya tetap menggenggamnya lebih kuat lagi. Saya mengajak Dio untuk tetap bersama di depan kelas. Saya memintanya menjadi asisten guru kelas inspirasi selama saya mengajar di dalam kelasnya. Dan Dio pun bersedia, ia mengangguk sambil tersenyum menyatakan kesediaannya. Dio saya beri tugas untuk mengatur teman-temannya, tidak bermain dalam kelas, tidak tidur-tiduran, duduk ditempat duduk sambil mendengarkan bu Guru di kelas insipirasi ini. Dio dengan senang melakukannya. Saya tetap menggenggam tangan Dio sambil menyapa teman-temannya yang lain. Saya berkenalan dengan semua teman kelasnya dan tentunya masih tetap dibantu oleh Dio. Dio membantu saya memperkenalkan teman-temannya. Nampak ia sangat senang ketika ia diberi tanggungjawab, seperti saat ini, ia menjadi asisten guru kelas inspirasi. Setelah memperkenalkan teman-temannya, saya memberikan apresiasi kepada Dio karena sudah membantu saya. 
       Lalu, saya menanyakan kepada semua teman-temannya “apakah Dio anak yang baik?” dan teman-temannya spontan menjawab, “tidak, Bu Guru”, ada satu anak yang kemudian berteriak “Dio, nakal Bu Guru”, mendengar itu, Dio langsung bereaksi. Ia langsung berlari ke arah temannya yang menjawab itu sambil mengepalkan tangannya hendak memukul temannya, hanya saja tangan Dio yang sebelahnya masih dalam genggaman saya, sehingga ia tidak bisa langsung memukul temannya. Nampak, Dio sangat marah, matanya melotot, nafasnya terengahh-engah, dan wajahnya memerah. Dio tetap berusaha melepas tangannya dari tangan saya. Saya kemudian mengatakan kepada teman-temannya bahwa Dio bukan anak yang nakal, buktinya Dio sekarang membantu Bu Guru dalam kelas. Di kelas ini, sebagian besar waktu saya habiskan bersama Dio, saya sibuk memberinya tugas, mulai dari mengabsen teman-temannya dan membagikan sertifikat kelas inspirasi kepada teman-temannya. Dalam menjalankan tugasnya, saya menanyakan beberapakan hal kepada Dio, seperti apa cita-citanya? Ia ingin menjadi seorang petugas pemadam kebakaran. Ketika ditanyai alasannya ia belum tahu kenapa. Ia hanya pernah melihatnya di TV. Lalu, ketika saya bertanya, 

“Dio, kira-kira kalau Dio dipukul, sakit atau nggak?” dia menjawab “sakit”,
saya bertanya lagi, “sedih nggak?” 
Dio menjawab, “sedih”. 
Saya memberitahu:“Nah, seperti itu juga yang dirasakan oleh teman-temanmu ketika kamu memukulinya”. 
Dio terdiam. 
Saya bertanya lagi, “memangnya kenapa Dio sering memukuli teman-temanmu?” 

dia menjawab “karena mereka selalu mengejek saya”, 
saya melanjutkan: “mengejek seperti apa?” 
Dio menjawab, “mengatai saya nakal”. 

Mendengar itu saya terdiam. Anak ini tadi dengan bangga memperkenalkan diri sebagai anak nakal tapi kenapa sekarang menjawab kalau ia terganggu dengan sebutan itu dari teman-temannya. Kisah si Dio ini menarik didalami, hanya saja waktu kami sangat terbatas di kelas ini. Anak laki-laki kelas dua yang menampilkan dirinya sebagai jagoan di kelasnya, dia anak yang sangat emosional. Hal kecil dapat membuatnya marah dan berbuat agresif kepada orang lain. Di sisi lain, Dio sangat senang diberi tanggung jawab sebagai “asisten guru kelas inspirasi”. Dan ia mendeskripiskan dirinya sebagai anak nakal. Itulah Dio, anak spesial yang saya temui hari ini di kelas inspirasi.

........





Pengantar Psikologi Perkembangan Anak

Pengantar Psikologi Perkembangan Anak Zulaeni Esita Dosen Psikologi, Universitas Muhammadiyah Kendari Pendahuluan Psikologi perkembangan ada...