Selasa, 29 Mei 2018

Coping Stress pada OrangTua Anak Berkebutuhan Khusus

Coping Stress pada OrangTua Anak Berkebutuhan Khusus

Zulaeni Esita
Dosen Psikologi, Universitas Muhammadiyah Kendari


Tulisan ini merupakan materi yang penulis sampaikan dalam Seminar Nasional Anak Berkebutuhan Khusus: "Menata Masa Depan Anak Spesial" yang disampaikan pada 05 November 2016 di Balroom Swiss-bell Hotel Kendari, yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Kendari.   

Memiliki anak setelah pernikahan merupakan hal yang dinantikan oleh hampir semua pasangan suami isteri. Kelahiran seorang anak adalah saat yang menggembirakan dalam sebuah kehidupan rumah tangga.  Namun, tidak semua anak yang terlahir berada dalam kondisi normal. Ada beberapa orangtua yang mendapatkan anak yang terlahir dalam kondisi yang tidak normal. Dalam jurnal Biology, Agriculture and Healthcare, Gehan (2012) menuliskan bahwa hampir 4% dari orang tua menerima berita menyedihkan tentang kesehatan anak mereka bahkan, setiap 3,5 menit orangtua mendapatkan kabar bahwa anak mereka memiliki penyakit medis yang serius, cacat, gangguan sensorik, ataupun retardasi mental. Bagi orangtua dengan anak yang berkebutuhan khusus, saat  kelahiran anak mereka itu bercampur menjadi stres dan putus asa (Barnett et al, 2003). Anak berkebutuhan khusus merupakan anak-anak yang memiliki keterbatasan pada kondisi fisik, perilaku, perkembangan, atau emosional  dan juga membutuhkan layanan kesehatan khusus yang tidak dibutuhkan oleh anak-anak pada umumnya (Gehan, 2012). “Anak berkebutuhan khusus” (special needs children), yaitu anak yang secara bermakna mengalami kelainan atau gangguan (fisik, mental-intelektual, sosial dan emosional) dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya dan mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus (Direktorat Pembinaan SLB, 2005).  Data dari BPS yang bekerjasama dengan Asdep Informasi Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2011 menyebutkan bahwa ada 2 juta jiwa (0,92%) yang berstatus berkebutuhan khusus dari total penduduk tahun 2009 (213,7 juta jiwa), seperlima (20,64%) dari total mereka yang berkebutuhan khusus adalah penduduk berusia 0-17 tahun. 
Menjadi orangtua merupakan hal yang menyenangkan dan memberikan pengalaman yang bermanfaat juga menegangkan, dan seringkali diiringi dengan tingkat stres yang tinggi. Mereka mengalami stress karena kesulitan sebagai orangtua terlebih lagi bagi pasangan muda yang baru memiliki anak dan juga tantangan sebagai orangtua dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Kehadiran anak dengan kebutuhan khusus memberikan tuntutan dan tantangan yang tiba-tiba bagi orangtua, yang seringkali mereka tidak pernah persiapkan sebelumnya (Erjona, 2013). Memiliki anak dengan kebutuhan khusus memberikan dampak pada perubahan hidup dan efek jangka panjang dalam kehidupan semua keluarga. Menjadi orangtua dari anak dengan kebutuhan khusus merupakan salah satu peristiwa hidup yang membuat seseorang tertekan dalam hidupnya  (Gehan, 2012). Keluarga dengan anak yang memiliki perawatan kesehatan khusus memiliki pengalaman hidup yang berbeda dari keluarga lainnya.
Reaksi yang ditunjukkan orang tua dapat berupa reaksi negatif ataupun reaksi positif. Reaksi negatif antara lain berupa penolakan atau penyangkalan, rasa bersalah, kesedihan, kecenderungan untuk meminta perlindungan, depresi, kaget, marah, kacau, cemas, takut, gejolak batin, tidak percaya, dan kecewa (Hallahan, et. all., 2012). Reaksi positif yang akhirnya dapat muncul yaitu berupa penerimaan. 
Umumnya ibu menjadi pengasuh utama bagi anak-anaknya. Pada kasus ini, para ibu dengan anak yang berkebutuhan khusus membawa beban yang lebih besar dibandingkan dengan anggota keluarga lainnya atupun dengan ibu-ibu lainnya yang tidak memiliki anak berkebutuhan khusus. Tingkat stres ibu lebih tinggi dari tingkat stres pada ayah (Sabih & Sajid, 2008). Karena sang ibulah yang berada sepanjang waktu bersama sang anak, sehingga mereka mengalami stres dan beban berat dalam pemberian perawatan kesehatan pada anaknya yang memerlukan perlakuan khusus. Hasil penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa seorang ibu dengan anak berkebutuhan khusus  cenderung memiliki masalah kesehatan mental dibandingkan dengan ayah (Thompson,et.all dalam Gehan, 2012). Begitu pula dalam hal pengalaman perawatan kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus memiliki pengalaman perawatan kesehatan yang berbeda dengan keluarga lainnya yang tidak memiliki anak berkebutuhan khusus (Gehan, 2012). Mereka memiliki kekhawatiran yang lebih besar dan memiliki perasaan dibutuhkan setiap saat oleh anaknya.
Orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus memiliki pengalaman stres yang lebih tinggi dibandingkan orangtua dengan anak normal. Stres yang dialami orangtua dengan anak berkebutuhan khusus disebabkan oleh adanya rasa bersalah, putus asa, rendahnya harga diri, tidak menerima kenyataan dan tidak adanya dukungan sosial. Rasa stres juga dapat berhubungan dengan karakteristik anak, tuntutan keuangan dan pemberian perawatan yang lebih besar, perasaan yang tidak siap untuk tugas-tugas pengasuhan, dan rasa kesepian. Bentuk stres lainnya yang dialami adalah tidak adanya persiapan, kurangnya informasi dan arahan dari orang tua lain yang pernah mengalaminya dan seiring dengan kemajuan perkembangan anaknya setelah diterapi membuat orang tua mulai memikirkan pendidikan jenjang selanjutnya untuk anak berkebutuhan khusus dengan biaya yang tidak sedikit (Twining & Nurlela, 2015).
Stres menunjukkan suatu tekanan atau tuntutan yang dialami individu/organisme agar ia beradaptasi atau menyesuaikan diri (Nevid, Rathus & Greene, 2005), tekanan tersebut bersumber dari dalam diri individu dan juga dari luar diri individu (Hardjana, 1994). Stres yang dialami oleh individu harus dikelola dengan baik agar individu mampu menjalani kehidupannya dengan lebih baik. Meskipun stres selalu hadir disetiap waktu dalam kehidupan individu. Namun, keterampilan individu dalam mengelola dan mengatasi semua tekanan yang datang pada dirinya akan menjadikan individu tersebut tangguh. Sama halnya dengan orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Mereka memiliki kekuatan (resource) dari dalam diri yang dapat membantu mereka untuk beradaptasi terhadap tekanan yang dihadapi. Pada awalnya kondisi dan perilaku maladaptive anaknya akan memicu tekanan dalam diri orangtua pada anak berkebutuhan khusus namun, seiring dengan proses terapi yang dijalani secara perlahan-lahan perilaku anak akan berubah dan tekanan pada orangtua pun akan berkurang.
Kemampuan orangtua dengan anak berkebutuhan khusus dalam memaknai hidupnya akan membantu mereka untuk keluar dari tingkat stres yang tinggi. Hal yang bisa mereka lakukan adalah dengan cara melakukan hal-hal positif terhadap perkembangan anaknya seperti mencari bantuan medis, mengikuti seminar mengenai anak berkebutuhan khusus, dan yang menjadi alasan orang tua bertahan dalam kondisi seperti ini karena orang tua yakin dibalik setiap kekurangan pasti ada kelebihan yang dimiliki anaknya, adanya keyakinan bahwa setiap anak membawa potensinya masing-masing, dan terutama mendapat dukungan dari keluarga, teman, dan sesama orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (Twining & Nurlela, 2015). Selain itu, kemampuan mereka dalam memandang tekanan yang ada pada diri mereka dan strategi yang digunakan dalam mengatasinya dapat digunakan sebagai cara yang efektif untuk mengelola stres (Mak & Ho,2007).
Hal-hal positif yang digunakan sebagai strategi coping menghasilkan tingkat stres yang rendah pada orangtua dengan anak berkebutuhan khusus (Jones & Passey, 2004).   Ketiadaan coping stres yang positif pada orangtua akan berdampak pada anaknya (Hadadian & Merbler, 1996). Permasalahan-permasalahan yang dihadapi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus memerlukan pemecahan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap masalah dan tekanan yang sedang mereka hadapi. Konsep untuk memecahkan permasalahan tersebut disebut dengan strategi coping. Coping dilakukan untuk menyeimbangkan emosi individu dalam situasi yang penuh tekanan. Pengelolaan stres yang disebut dengan istilah coping adalah proses mengelola tuntutan (internal ataupun eksternal) yang ditaksir sebagai beban karena diluar kemampuan individu (Folkman & Moskowitz, 2000). Ada beberapa tipe strategi coping, yaitu: (1) problem focused. Strategi coping ini mencoba untuk mengurangi stres dengan mengubah masalah atau situasi (Daniel,1999; Folkman, et.all 1986); (2) emotion focused. Strategi ini mencoba untuk mengubah tekanan emosional yang disebabkan oleh situasi (Daniel,1999; Folkman, et.all 1986); dan (3) appraisal or perception focused coping. Strategi coping ini mencoba untuk mengubah penilaian individu terhadap situasi yang dialaminya (Daniel, 1999). Setiap orang menggunakan strategi coping yang berbeda-beda dalam mengatasi stressnya.
Coping dengan problem focused menggunakan strategi kognitif untuk penanganan stres atau coping yang digunakan oleh individu dengan menggunakan strategi kognitif dalam menghadapi masalahnya dan berusaha menyelesaikannya (Folkman, et.all 1986). Aspek-aspek strategi coping dalam problem focused coping antara lain: keaktifan diri, perencanaan, kontrol diri  (Carver, Scheier & Weintraub,1989).   
Coping dengan emotion focused menggunakan strategi penanganan stres dengan memberikan respon secara emosional (Folkman, et.all 1986). Emotional focused coping merupakan strategi yang bersifat internal, aspek-aspek dalam strategi ini, seperti: dukungan sosial emosional (Carver, Scheier & Weintraub,1989).  Hasil penelitian Frey, Greenberg, & Fewell (1989) menyebutkan bahwa ketahanan keluarga dengan ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus lebih baik jika mereka mendapatkan dukungan sosial. Ketahanan keluarga yang dimaksud meliputi hubungan keluarga, kebahagiaan pernikahan, keharmonisan, dan kerukunan dalam rumah tangga.    
Coping dengan appraisal or perception focused coping menggunakan strategi mengubah penilaian individu terhadap situasi yang dialaminya (Daniel, 1999). Penilaian ini akan berdampak pada penerimaan (Carver, Scheier & Weintraub,1989). 
 Penelitian yang dilakukan oleh Glidden (2006) menjelaskan bahwa orang tua yang memilih strategi problem focused coping memiliki hasil positif dalam menanggulangi stresnya.  Penelitian Destryarini (2013) menggambarkan bahwa orangtua pada anak berkebutuhan khusus yang ada di Samarinda memilih mengatasi dan menghadapi masalahnya dengan menggunakan problem focused coping yang cenderung berupa keaktifan diri, perencanaan, dan kontrol diri. Seseorang yang menggunakan problem focused coping, maka ia memiliki kemampuan yang dapat merubah situasi atau stresor (Folkman, et.all 1986).
Sisi lain menunjukkan bahwa strategi yang dipilih oleh para orangtua dengan anak berkebutuhan khusus adalah strategi coping dengan emotion focused. Penelitian Twining & Nurlela (2015) menemukan orangtua anak dengan berkebutuhan khusus yang ada di Jember, Indonesia cenderung melakukan strategi emotion focused coping (EFC) sebagai strategi coping stresnya. Hal ini dikarenakan anggapan individu bahwa strategi EFC mampu mencegah emosi negatif menguasai diri mereka dengan begitu mereka bisa memecahkan masalahnya. Hal ini dilakukan jika suatu masalah tidak dapat dikendalikan (Atkinson dkk, 2001). Hal senada juga diungkapkan Smet (1994) yang menyatakan bahwa individu yang merasa tidak mampu dan tidak berdaya dalam menghadapi situasi stressful cenderung menggunakan strategi ini. EFC lebih mengarah pada mengontrol respon emosi terhadap situasi yang mendatangkan stres. Pemilihan strategi coping dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: usia (Smet, 1994; Biren & Schale, 1996; Safarino, 1997);  jenis kelamin (Smet, 1994; Santrock, 2002); status sosial dan tingkat pendidikan (Holahan & Moos, 1987).
Bagi orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus yang dapat menggunakan strategi coping yang baik, maka dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik pula. Reaksi dan pemilihan strategi coping yang dipilih akan berbeda-beda dalam mengatasi masalah yang dihadapi, tergantung pada pengetahuan, pengalaman dan persepsi subjek yang dimiliki.  

Referensi:
Atkinson, P dkk. (2001). Handbook of Ethnography, London : Sage publications
Barnett,D., Clements, M., Kaplan-Estrin, M.,& Fialka, J. (2003). Building New Dreams Supporting Parents’ Adaptation to Their Child With Special Needs. Infants and Young Children. 16( 3): 184–200
Carver, C. S., Scheier, M. F., & Weintraub, J. K. (1989). Assesing Coping Strategies: A Theoretically Based Approach.  Journal of  Personality and Social Psychology, 56 (2), pp. 267-283.
Daniels, K. (1999). Coping and the job demandscontrol-support model: An exploratory study. International Journal of Stress Management, 6,125-144.
Destryarini, M. (2013). Strategi Coping dan Kelelahan Emosional (Emotional Exhaustion) pada Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus: Studi Kasus di RSJ Daerah Atma Husada Mahakam, Samarinda Kalimantan Timur. E-Journal Psikologi, 1 (2):123-135
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. (2005). Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Pendidikan Inklusif. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa,  
Erjona, D. (2013). Parental Stress in Families of Children with Disabilities: A Literature Review. Journal of Educational and Social Research Vol.3 No. 7 hlm. 579-584
Frey, K., Greenberg, M., & Fewell, R. (1989). Stress and Coping among Parents of Handicapped Children. Topics in Early Childhood Special Education, 8, 38-57.
Folkman, S., & Moskowitz, J. T. (2000). Stress, Positive Emotion, and Coping. Current Directions in Psychology Science, 9 (4), pp. 115-118
Folkman, S., Lazarus, R. S., Schetter, C. D., Delongis, A., & Gruen, R. J. (1986). Dynamics of a Stressful Encounter: Cognitive Appraisal, Coping, and Encounter Outcomes. Journal of Personality and Social Psychology , 50 (5), pp. 992-1003.
Gehan, E. N. A. M. (2012). Coping Strategies of Mothers having Children with Special Needs. Journal of Biology, Agriculture and Healthcare. Vol.2 No. 8 hlm. 77-84
Glidden, L. M., Billings, F. J., & Jobe, B. M. (2006). Personality, coping style and well-being of parents rearing children with developmental disabilities. Journal of Intellectual Disability Research, 50,pp. 949–962.
Hadadian, A., & Merbler, J. (1996). Mother's stress: Implications for attachment relationships. Early Child Development and Care, 125, 59-66.
Hallahan, D. P., Kaufmann, J.M., & Pullen, P. C. (2012). Exceptional learners: Introduction to Special Education. Upper Saddle River, NJ: Pearson.
Sabih, F., & Sajid, W. B. (2008). There is Significant Stress among Parents Having Children with Autism. Vol.33 (2) : 214-216.
Sarafino, E. P. (1997). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. USA : The College of New York
Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Twining, P. M., & Nurlela, W. (2015).  Gambaran Strategi Coping pada OrangTua yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus. (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember.
Hardjana, A. M. (1994). Stres Tanpa Distres. Yogyakarta: Kanisius.
Nevid, J. S., Rathus, S.A., & Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.
Mak, W. S., & Ho, S. M. (2007). Caregiving perceptions of Chinese mothers of children with intellectual disability in Hong Kong. Journal of Applied Research in Intellectual Disabilities, 20, 145-156.

Pengantar Psikologi Perkembangan Anak

Pengantar Psikologi Perkembangan Anak Zulaeni Esita Dosen Psikologi, Universitas Muhammadiyah Kendari Pendahuluan Psikologi perkembangan ada...