Coping Stress pada OrangTua Anak Berkebutuhan Khusus
Zulaeni Esita
Dosen Psikologi, Universitas Muhammadiyah Kendari
Tulisan ini merupakan materi yang penulis sampaikan dalam Seminar Nasional Anak Berkebutuhan Khusus: "Menata Masa Depan Anak Spesial" yang disampaikan pada 05 November 2016 di Balroom Swiss-bell Hotel Kendari, yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Kendari.
Memiliki anak setelah pernikahan
merupakan hal yang dinantikan oleh hampir semua pasangan suami isteri.
Kelahiran seorang anak adalah saat yang menggembirakan dalam sebuah kehidupan
rumah tangga. Namun, tidak semua anak
yang terlahir berada dalam kondisi normal. Ada beberapa orangtua yang
mendapatkan anak yang terlahir dalam kondisi yang tidak normal. Dalam jurnal Biology, Agriculture and Healthcare,
Gehan (2012) menuliskan bahwa hampir 4% dari orang tua menerima berita menyedihkan tentang kesehatan anak
mereka
bahkan, setiap 3,5 menit
orangtua mendapatkan kabar bahwa anak mereka memiliki penyakit medis yang serius,
cacat, gangguan sensorik, ataupun retardasi mental. Bagi orangtua dengan anak yang berkebutuhan
khusus, saat
kelahiran anak
mereka itu bercampur menjadi stres dan putus asa (Barnett et al, 2003).
Anak berkebutuhan khusus merupakan anak-anak yang memiliki keterbatasan
pada kondisi fisik, perilaku,
perkembangan, atau emosional dan juga membutuhkan layanan kesehatan khusus yang tidak
dibutuhkan oleh anak-anak pada umumnya (Gehan, 2012). “Anak berkebutuhan
khusus” (special needs children),
yaitu anak yang secara bermakna mengalami kelainan atau gangguan (fisik,
mental-intelektual, sosial dan emosional) dalam proses pertumbuhan dan
perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya dan mereka memerlukan
pelayanan pendidikan khusus (Direktorat Pembinaan SLB, 2005). Data dari BPS yang bekerjasama dengan Asdep
Informasi Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun
2011 menyebutkan bahwa ada 2 juta jiwa (0,92%) yang berstatus berkebutuhan
khusus dari total penduduk tahun 2009 (213,7 juta jiwa), seperlima (20,64%)
dari total mereka yang berkebutuhan khusus adalah penduduk berusia 0-17
tahun.
Menjadi orangtua merupakan hal
yang menyenangkan dan memberikan pengalaman yang bermanfaat juga menegangkan, dan
seringkali diiringi dengan tingkat stres yang tinggi. Mereka mengalami stress
karena kesulitan sebagai orangtua terlebih lagi bagi pasangan muda yang baru
memiliki anak dan juga tantangan sebagai orangtua dalam menghadapi kehidupan
sehari-hari. Kehadiran anak dengan kebutuhan khusus memberikan tuntutan dan
tantangan yang tiba-tiba bagi orangtua, yang seringkali mereka tidak pernah
persiapkan sebelumnya (Erjona, 2013). Memiliki anak dengan kebutuhan khusus
memberikan dampak pada perubahan hidup dan efek jangka panjang dalam kehidupan
semua keluarga. Menjadi orangtua dari anak dengan kebutuhan khusus merupakan
salah satu peristiwa hidup yang membuat
seseorang tertekan dalam hidupnya
(Gehan, 2012). Keluarga
dengan anak yang memiliki perawatan kesehatan khusus memiliki
pengalaman hidup yang berbeda dari keluarga lainnya.
Reaksi yang ditunjukkan orang tua
dapat berupa reaksi negatif ataupun reaksi positif. Reaksi negatif antara lain berupa
penolakan atau penyangkalan, rasa bersalah, kesedihan, kecenderungan untuk
meminta perlindungan, depresi, kaget, marah, kacau, cemas, takut, gejolak
batin, tidak percaya, dan kecewa (Hallahan, et. all., 2012). Reaksi positif
yang akhirnya dapat muncul yaitu berupa penerimaan.
Umumnya ibu menjadi pengasuh utama bagi anak-anaknya. Pada kasus ini, para ibu
dengan anak yang berkebutuhan khusus membawa beban yang lebih besar dibandingkan dengan
anggota keluarga lainnya atupun dengan ibu-ibu lainnya yang tidak memiliki anak
berkebutuhan khusus. Tingkat stres ibu lebih tinggi dari tingkat stres pada
ayah (Sabih & Sajid, 2008). Karena sang ibulah yang berada sepanjang waktu bersama sang anak, sehingga mereka mengalami stres dan beban berat dalam pemberian perawatan kesehatan
pada anaknya yang memerlukan perlakuan khusus. Hasil penelitian
lainnya juga menyebutkan bahwa seorang ibu dengan anak berkebutuhan khusus cenderung memiliki masalah kesehatan mental
dibandingkan dengan ayah (Thompson,et.all dalam
Gehan, 2012). Begitu pula dalam hal pengalaman perawatan
kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki anak
berkebutuhan khusus memiliki pengalaman perawatan kesehatan yang berbeda dengan
keluarga lainnya yang tidak memiliki anak berkebutuhan khusus (Gehan, 2012).
Mereka memiliki kekhawatiran yang lebih besar dan memiliki perasaan dibutuhkan
setiap saat oleh anaknya.
Orangtua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus memiliki pengalaman stres yang lebih tinggi dibandingkan
orangtua dengan anak normal. Stres yang dialami orangtua dengan anak
berkebutuhan khusus disebabkan oleh adanya rasa bersalah, putus asa, rendahnya harga
diri, tidak menerima kenyataan dan tidak adanya dukungan sosial. Rasa stres juga dapat berhubungan dengan karakteristik anak, tuntutan
keuangan dan pemberian perawatan yang lebih besar, perasaan yang tidak siap untuk
tugas-tugas pengasuhan, dan rasa kesepian. Bentuk stres lainnya
yang dialami adalah tidak adanya persiapan, kurangnya informasi dan arahan dari
orang tua lain yang pernah mengalaminya dan seiring dengan kemajuan
perkembangan anaknya setelah diterapi membuat orang tua mulai memikirkan
pendidikan jenjang selanjutnya untuk anak berkebutuhan khusus dengan biaya yang
tidak sedikit (Twining & Nurlela, 2015).
Stres menunjukkan suatu tekanan
atau tuntutan yang dialami individu/organisme agar ia beradaptasi atau
menyesuaikan diri (Nevid, Rathus & Greene, 2005), tekanan tersebut
bersumber dari dalam diri individu dan juga dari luar diri individu (Hardjana,
1994). Stres yang dialami oleh individu harus dikelola dengan baik agar
individu mampu menjalani kehidupannya dengan lebih baik. Meskipun stres selalu
hadir disetiap waktu dalam kehidupan individu. Namun, keterampilan individu
dalam mengelola dan mengatasi semua tekanan yang datang pada dirinya akan
menjadikan individu tersebut tangguh. Sama halnya dengan orangtua yang memiliki
anak berkebutuhan khusus. Mereka memiliki kekuatan (resource) dari dalam diri yang dapat membantu mereka untuk
beradaptasi terhadap tekanan yang dihadapi. Pada awalnya kondisi dan perilaku maladaptive anaknya akan memicu tekanan
dalam diri orangtua pada anak berkebutuhan khusus namun, seiring dengan proses
terapi yang dijalani secara perlahan-lahan perilaku anak akan berubah dan
tekanan pada orangtua pun akan berkurang.
Kemampuan orangtua dengan anak
berkebutuhan khusus dalam memaknai hidupnya akan membantu mereka untuk keluar
dari tingkat stres yang tinggi. Hal yang bisa mereka lakukan adalah dengan cara
melakukan hal-hal positif terhadap perkembangan anaknya seperti mencari bantuan
medis, mengikuti seminar mengenai anak berkebutuhan khusus, dan yang menjadi
alasan orang tua bertahan dalam kondisi seperti ini karena orang tua yakin
dibalik setiap kekurangan pasti ada kelebihan yang dimiliki anaknya, adanya keyakinan
bahwa setiap anak membawa potensinya masing-masing, dan terutama mendapat
dukungan dari keluarga, teman, dan sesama orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus (Twining & Nurlela, 2015). Selain itu, kemampuan mereka
dalam memandang tekanan yang ada pada diri mereka dan strategi yang digunakan
dalam mengatasinya dapat digunakan sebagai cara yang efektif untuk mengelola
stres (Mak & Ho,2007).
Hal-hal positif yang digunakan sebagai
strategi coping menghasilkan tingkat stres yang rendah pada orangtua dengan
anak berkebutuhan khusus (Jones & Passey, 2004). Ketiadaan coping stres yang positif pada
orangtua akan berdampak pada anaknya (Hadadian & Merbler, 1996). Permasalahan-permasalahan
yang dihadapi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus memerlukan pemecahan
sebagai upaya untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap masalah dan
tekanan yang sedang mereka hadapi. Konsep untuk memecahkan permasalahan tersebut
disebut dengan strategi coping. Coping dilakukan untuk
menyeimbangkan emosi individu dalam situasi yang penuh tekanan. Pengelolaan
stres yang disebut dengan istilah coping adalah proses mengelola
tuntutan (internal ataupun eksternal) yang ditaksir sebagai beban karena diluar
kemampuan individu (Folkman & Moskowitz, 2000). Ada beberapa tipe strategi
coping, yaitu: (1) problem focused.
Strategi coping ini mencoba untuk mengurangi stres dengan mengubah masalah atau
situasi (Daniel,1999; Folkman, et.all 1986); (2) emotion focused. Strategi ini mencoba untuk mengubah tekanan
emosional yang disebabkan oleh situasi (Daniel,1999; Folkman, et.all 1986); dan
(3) appraisal or perception focused
coping. Strategi coping ini mencoba untuk mengubah penilaian individu terhadap
situasi yang dialaminya (Daniel, 1999). Setiap orang menggunakan strategi coping
yang berbeda-beda dalam mengatasi stressnya.
Coping dengan problem focused menggunakan strategi
kognitif untuk penanganan stres atau coping
yang digunakan oleh individu dengan menggunakan strategi kognitif dalam
menghadapi masalahnya dan berusaha menyelesaikannya (Folkman, et.all 1986).
Aspek-aspek strategi coping dalam problem
focused coping antara lain: keaktifan diri, perencanaan, kontrol diri (Carver, Scheier & Weintraub,1989).
Coping dengan emotion focused menggunakan strategi
penanganan stres dengan memberikan respon secara emosional (Folkman, et.all
1986). Emotional focused coping merupakan
strategi yang bersifat internal, aspek-aspek dalam strategi ini, seperti:
dukungan sosial emosional (Carver, Scheier & Weintraub,1989). Hasil penelitian Frey, Greenberg, & Fewell
(1989) menyebutkan bahwa ketahanan keluarga dengan ibu yang memiliki anak
berkebutuhan khusus lebih baik jika mereka mendapatkan dukungan sosial.
Ketahanan keluarga yang dimaksud meliputi hubungan keluarga, kebahagiaan
pernikahan, keharmonisan, dan kerukunan dalam rumah tangga.
Coping dengan appraisal or perception focused coping
menggunakan strategi mengubah penilaian individu terhadap situasi yang
dialaminya (Daniel, 1999). Penilaian ini akan berdampak pada penerimaan (Carver,
Scheier & Weintraub,1989).
Penelitian yang dilakukan oleh Glidden (2006)
menjelaskan bahwa orang tua yang memilih strategi problem focused coping memiliki
hasil positif dalam menanggulangi stresnya. Penelitian Destryarini (2013) menggambarkan
bahwa orangtua pada anak berkebutuhan khusus yang ada di Samarinda memilih mengatasi
dan menghadapi masalahnya dengan menggunakan problem focused coping yang cenderung berupa keaktifan diri,
perencanaan, dan kontrol diri. Seseorang yang menggunakan problem focused coping, maka ia memiliki kemampuan yang dapat
merubah situasi atau stresor (Folkman, et.all 1986).
Sisi lain menunjukkan bahwa
strategi yang dipilih oleh para orangtua dengan anak berkebutuhan khusus adalah
strategi coping dengan emotion focused. Penelitian
Twining & Nurlela (2015) menemukan orangtua anak dengan berkebutuhan khusus
yang ada di Jember, Indonesia cenderung melakukan strategi emotion focused
coping (EFC) sebagai strategi coping stresnya. Hal ini dikarenakan anggapan
individu bahwa strategi EFC mampu mencegah emosi negatif menguasai diri mereka dengan
begitu mereka bisa memecahkan masalahnya. Hal ini dilakukan jika suatu masalah
tidak dapat dikendalikan (Atkinson dkk, 2001). Hal senada juga diungkapkan Smet
(1994) yang menyatakan bahwa individu yang merasa tidak mampu dan tidak berdaya
dalam menghadapi situasi stressful cenderung menggunakan strategi ini.
EFC lebih mengarah pada mengontrol respon emosi terhadap situasi yang
mendatangkan stres. Pemilihan strategi coping dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu: usia (Smet, 1994; Biren & Schale, 1996; Safarino, 1997); jenis kelamin (Smet, 1994; Santrock, 2002);
status sosial dan tingkat pendidikan (Holahan & Moos, 1987).
Bagi orangtua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus yang dapat menggunakan strategi coping yang baik,
maka dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik pula. Reaksi dan pemilihan
strategi coping yang dipilih akan berbeda-beda dalam mengatasi masalah yang
dihadapi, tergantung pada pengetahuan, pengalaman dan persepsi subjek yang
dimiliki.
Referensi:
Atkinson, P dkk. (2001). Handbook
of Ethnography, London : Sage publications
Barnett,D.,
Clements, M., Kaplan-Estrin, M.,& Fialka, J. (2003). Building New
Dreams Supporting Parents’ Adaptation to Their Child With Special Needs. Infants and Young Children. 16( 3):
184–200
Carver, C. S., Scheier, M. F., & Weintraub,
J. K. (1989). Assesing Coping Strategies: A Theoretically Based Approach. Journal
of Personality and Social Psychology,
56 (2), pp. 267-283.
Daniels, K. (1999). Coping and the job
demandscontrol-support model: An exploratory study. International Journal of
Stress Management, 6,125-144.
Destryarini, M. (2013). Strategi
Coping dan Kelelahan Emosional (Emotional Exhaustion) pada Ibu yang Memiliki
Anak Berkebutuhan Khusus: Studi Kasus di RSJ Daerah Atma Husada Mahakam,
Samarinda Kalimantan Timur. E-Journal
Psikologi, 1 (2):123-135
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar
Biasa. (2005). Identifikasi Anak
Berkebutuhan Khusus Dalam Pendidikan Inklusif. Jakarta: Direktorat
Pembinaan Sekolah Luar Biasa,
Erjona, D. (2013). Parental Stress in Families of Children with
Disabilities: A Literature Review. Journal of Educational and Social
Research Vol.3 No. 7 hlm. 579-584
Frey, K., Greenberg, M., & Fewell,
R. (1989). Stress and Coping among Parents of Handicapped Children. Topics in Early Childhood Special Education,
8, 38-57.
Folkman, S., & Moskowitz, J. T.
(2000). Stress, Positive Emotion, and Coping. Current Directions in Psychology Science, 9 (4), pp. 115-118
Folkman, S.,
Lazarus, R. S., Schetter, C. D., Delongis, A., & Gruen, R. J. (1986). Dynamics of a
Stressful Encounter: Cognitive Appraisal, Coping, and Encounter Outcomes. Journal of Personality and Social Psychology
, 50 (5), pp. 992-1003.
Gehan, E. N. A. M. (2012). Coping Strategies of Mothers having Children
with Special Needs. Journal of Biology,
Agriculture and Healthcare. Vol.2 No. 8 hlm. 77-84
Glidden, L. M., Billings, F. J., &
Jobe, B. M. (2006). Personality,
coping style and well-being of parents rearing children with developmental
disabilities. Journal of Intellectual Disability Research, 50,pp.
949–962.
Hadadian, A., & Merbler, J.
(1996). Mother's stress: Implications for attachment relationships. Early
Child Development and Care, 125, 59-66.
Hallahan, D. P., Kaufmann, J.M., &
Pullen, P. C. (2012). Exceptional
learners: Introduction to Special Education. Upper Saddle River, NJ:
Pearson.
Sabih, F., & Sajid, W. B. (2008).
There is Significant Stress among Parents Having Children with Autism. Vol.33
(2) : 214-216.
Sarafino, E. P. (1997). Health Psychology: Biopsychosocial
Interactions. USA : The College of New York
Smet, B. (1994). Psikologi
Kesehatan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Twining, P. M., & Nurlela, W.
(2015). Gambaran Strategi Coping pada OrangTua yang
Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus. (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Jember.
Hardjana, A.
M. (1994). Stres Tanpa Distres. Yogyakarta: Kanisius.
Nevid, J. S., Rathus, S.A., &
Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal.
Jakarta: Erlangga.
Mak, W. S., & Ho, S. M. (2007).
Caregiving perceptions of Chinese mothers of children with intellectual
disability in Hong Kong. Journal of Applied Research in Intellectual Disabilities,
20, 145-156.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar